Pandan Wangi Harum yang Mengakar dari Tanah Cianjur

Wartacianjurnews.com – Di sebuah sudut kaki Gunung Gede, tepatnya di Warungkondang, Cianjur, aroma harum nasi yang mengepul dari dapur-dapur rumah tangga menyimpan cerita panjang tentang tanah, tradisi, dan kecintaan pada padi. Dialah Pandan Wangi, varietas padi lokal yang tak sekadar jadi makanan pokok, tapi juga warisan budaya.

Beras ini bukan beras biasa. Ketika dimasak, ia menyebarkan aroma wangi menyerupai daun pandan yang segar, membuat siapa pun yang menciumnya teringat pada suasana kampung halaman, hangat, tenang, dan sarat kenangan. Itulah sebabnya masyarakat setempat menamainya Pandan Wangi.

Popularitas Pandan Wangi tak lepas dari peran seorang tokoh, Haji Jalal. Pada tahun 1970-an, pedagang beras asal Warungkondang ini membawa karung-karung beras Pandan Wangi ke Jakarta. Di tengah pasar ibu kota yang sibuk, Haji Jalal memperkenalkan beras ini kepada para pembeli. Aroma dan kualitasnya yang pulen langsung mencuri perhatian. Sejak saat itu, beras Pandan Wangi menjadi primadona, tak hanya di tanah kelahirannya, tetapi juga hingga ke luar negeri seperti Singapura dan Malaysia.

Berbeda dari varietas padi unggul modern yang bisa dipanen dalam waktu singkat, padi Pandan Wangi membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk tumbuh dan matang. Para petani menyebutnya sebagai “padi sabar” karena hanya bisa ditanam dua kali dalam setahun.

Bijinya cenderung bulat, dengan warna sedikit kekuningan. Saat disentuh, teksturnya padat, dan ketika dimasak, aroma khas pandan menyeruak keluar, menciptakan pengalaman makan yang jauh melampaui sekadar kenyang.

Namun, di balik harum dan kemasyhuran Pandan Wangi, terselip kegelisahan di kalangan petani. Di Warungkondang sendiri, tidak sedikit petani yang mulai enggan menanam varietas ini.

“Banyak petani sekarang malas nanam Pandan Wangi. Tanamnya lama, bisa sampai enam bulan, tapi harga nggak tentu. Nggak ada jaminan,” ujar Yayat Duriat, tokoh petani asal Desa Tegalega, Warungkondang, sembari duduk di pinggir pematang sawah. “Kalau hasil panen bagus tapi harga jatuh, rugi. Makanya banyak yang beralih ke padi cepat panen.”

Kata-kata Yayat mencerminkan dilema yang dihadapi petani lokal memilih antara menjaga warisan atau mencari kepastian ekonomi.

Kini, Pandan Wangi tak hanya menjadi simbol kebanggaan pertanian Cianjur, tetapi juga bagian dari identitas budaya masyarakatnya. Di Kampung Budaya Padi Pandanwangi, Warungkondang, para wisatawan bisa belajar langsung tentang proses menanam, memanen, hingga mengolah padi ini, sebuah upaya melestarikan pengetahuan leluhur yang nyaris tergilas zaman.

Anak-anak sekolah dari berbagai daerah datang berkunjung, mencelupkan kaki ke lumpur sawah, dan mendengarkan kisah para petani yang mewariskan keahlian dari generasi ke generasi. Di sana, Pandan Wangi menjadi guru diam yang mengajarkan nilai kesabaran, kerja keras, dan cinta terhadap bumi.

Padi Pandan Wangi adalah bukti bahwa kearifan lokal punya tempat di tengah derasnya modernisasi. Namun untuk terus hidup, ia butuh lebih dari sekadar pujian, ia butuh dukungan nyata bagi para petani yang merawatnya. Selama ada tangan-tangan yang setia menanam dan cerita yang terus disampaikan, harum Pandan Wangi akan tetap mengalir, seperti aliran air di petak-petak sawah Warungkondang, tenang, jernih, dan penuh makna. (Fadilah Munajat)

Comment