Wartacianjurnews.com – Di balik deru knalpot dan riuhnya modernisasi, ada suara-suara lirih yang nyaris tenggelam, suara mesin angkot tua yang tetap menyusuri jalanan Cianjur, meski tak lagi dipenuhi penumpang seperti dulu. Salah satunya milik Pak Ujang, sopir angkot jurusan Warungjengkol yang masih setia menarik setir sejak dua dekade silam.
Duduk di balik kemudi, wajah Pak Ujang menyiratkan keteguhan. “Dulu mah jangankan duduk, penumpang banyak yang nangkel di pintu. Sekarang mah, ngetem sejam juga kadang cuma dapet satu-dua orang,” tuturnya sambil tersenyum getir.

Masa Keemasan yang Tinggal Kenangan. Angkot jurusan Warungjengkol sempat menjadi primadona transportasi masyarakat. Jalur ini menghubungkan desa-desa dengan pusat kota, menjadi urat nadi aktivitas warga. Kala itu, angkot selalu penuh, pelajar, ibu-ibu pasar, buruh bangunan, hingga pedagang keliling berebut kursi sempit di dalam kabin mungil.
“Zaman itu mah tiap hari bisa bawa pulang Rp100 ribu bersih. Sekarang mah, buat nutup bensin aja suka nombok,” kata Pak Ujang.
Namun segalanya berubah cepat. Kredit kendaraan dengan uang muka murah membuat motor menjamur di setiap rumah. Tak lama kemudian, ojek online mulai masuk, menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas yang sulit ditandingi angkot konvensional. Belum lagi angkutan travel yang langsung mengantar penumpang dari kampung ke kota, tanpa perlu berhenti-berhenti.
Pak Ujang bukan satu-satunya yang merasakan getirnya perubahan. Teman-teman seprofesinya banyak yang sudah alih profesi, ada yang jadi tukang bangunan, ada pula yang menjual angkotnya dan membuka warung kecil.
Tapi bagi Pak Ujang, angkot bukan sekadar pekerjaan, ini hidupnya. “Ini mobil sudah kayak rumah kedua. Banyak kenangan. Anak saya bisa sekolah sampai lulus SMA ya dari sini,” ujarnya, menatap kursi penumpang yang kosong.
Meski penghasilan makin menipis, ia tetap berangkat pagi-pagi. “Rezeki mah sudah ada yang ngatur,” katanya lirih.
Di tengah ketidakpastian, Pak Ujang masih menyimpan harapan. Ia berharap ada bentuk perhatian dari pemerintah daerah, mungkin dengan subsidi BBM atau program revitalisasi angkot yang lebih adil.
“Kami ini bukan minta dimanja. Tapi setidaknya, jangan dibiarkan mati pelan-pelan,” ucapnya.
Kini, angkot Warungjengkol melaju lebih pelan, dengan ritme yang mengikuti denyut perubahan zaman. Mungkin tak lagi jadi pilihan utama, tapi tetap ada bagi mereka yang masih menggantungkan hidup pada roda empat itu.
Dan Pak Ujang, dengan setir di tangan dan kenangan di benak, tetap melaju, meski tak lagi dikerubungi penumpang, tapi tetap dengan harapan. (Fadilah Munajat)
Comment