Oleh Fadilah Munajat
Wartacianjurnews.com – Di tengah hiruk-pikuk modernitas yang semakin menekan, masih ada sosok-sosok sederhana yang setia menggantungkan hidup pada roda besi tua, tukang becak. Seorang pria paruh baya mengenakan kemeja biru pudar, topi lusuh, dan dengan kaki telanjangnya tetap teguh mengayuh becaknya menyusuri jalanan panas di kota Cianjur.
Hari itu matahari terik menyengat, namun tak menyurutkan semangatnya mencari penumpang di tengah lalu lintas yang didominasi kendaraan bermotor dan angkot. Becaknya tampak sederhana, sudah termakan usia, namun masih menjadi sumber nafkah utama.

Di masa kini, menjadi tukang becak bukan hanya tentang mengantar orang dari satu tempat ke tempat lain. Ini adalah tentang bertahan. Tentang melawan zaman yang makin tak ramah bagi profesi seperti mereka. Ojek online, kendaraan pribadi, bahkan cuaca ekstrem jadi tantangan harian.
Pak Rohim, mengaku sudah lebih dari 30 tahun menjadi tukang becak. “Sekarang sehari dapat satu atau dua penumpang juga udah syukur,” ujarnya pelan. Ia tetap setia mengayuh, meski pendapatan tak sebanding dengan lelah yang ia rasakan.
Bagi sebagian orang, becak mungkin hanya tinggal kenangan masa kecil. Tapi bagi Pak Rohim dan rekan-rekannya, becak adalah hidup mereka. Tempat bergantung, tempat bermimpi, tempat mencari sesuap nasi.
Di tengah geliat pembangunan, para tukang becak ini seperti sosok-sosok yang tertinggal. Namun mereka tetap ada, memberi warna lain pada wajah kota. Mereka bukan hanya pengayuh becak, mereka adalah pengayuh harapan.
Dan di Cianjur, di bawah langit biru yang hangat, roda-roda tua itu masih berputar. Perlahan, tapi pasti. Mengayuh bukan hanya untuk berpindah tempat, tapi untuk bertahan hidup di tengah perubahan zaman yang tak kenal ampun. (**)
Comment