Di tengah gemuruh mesin pabrik dan deretan lowongan kerja yang menggoda di layar ponsel, suara cangkul yang menghantam tanah kini terdengar semakin jarang. Modernisasi membawa perubahan besar pada wajah pedesaan, termasuk pada profesi buruh tani yang mulai kehilangan generasi penerusnya.
Di sebuah desa di pinggiran Cianjur, Wawan (58) duduk di pematang sawah sambil mengusap peluh. “Dulu, anak-anak muda berebut ikut ke sawah, sekarang jangankan mau nyangkul, pegang lumpur saja mereka ogah,” ujarnya sambil tertawa tipis.
Ia bercerita, dulu setiap musim tanam, sawah penuh dengan pekerja. Namun kini, yang tersisa hanyalah para petani sepuh, rambut memutih, punggung mulai membungkuk, tapi tetap setia pada tanah. “Mungkin kami ini generasi terakhir buruh tani,” ucap Wawan, matanya menerawang ke hamparan padi yang sudah siap dipanen.
Fenomena ini bukan tanpa sebab. Pabrik-pabrik yang terus bertambah di kawasan industri menjadi magnet bagi anak muda desa. Upah yang lebih pasti, jam kerja yang teratur, dan gengsi sosial yang berbeda membuat profesi buruh tani makin terpinggirkan.
Bagi sebagian generasi tua, sawah bukan hanya tempat mencari nafkah, melainkan ruang hidup dan warisan leluhur. Namun bagi generasi muda, sawah kini hanya latar foto Instagram, bukan lagi sumber penghidupan.
“Kalau semua anak muda lari ke kota, siapa yang nanti tanam padi untuk makan kita?” kata Wawan lirih. Pertanyaan itu menggantung, tak ada yang benar-benar bisa menjawabnya.
Di era modernisasi ini, mungkin profesi buruh tani sedang berjalan menuju senja kalanya. Dan di ujung senja itu, tersisa siluet para petani sepuh yang masih berjuang menanam kehidupan di tanah yang semakin sepi. (Fadilah Munajat)
Comment