Wartacianjurnews.com – Gelombang ketidakpuasan warga terhadap pemerintahan desa memuncak. Ratusan warga Desa Wangunjaya, Kecamatan Naringgul, Cianjur Selatan, turun ke jalan, Selasa (29/7/2025), menuntut Kepala Desa Jaelani segera mundur dari jabatannya. Mereka menuding sang kades telah melakukan penyelewengan dana desa senilai hampir Rp 800 juta.
Aksi protes yang dimulai dengan long march sepanjang satu kilometer menuju kantor desa itu berubah menjadi tekanan publik yang masif. Warga membawa poster-poster berisi kecaman dan desakan agar sang kades segera mengundurkan diri. Massa pun mengancam akan menyegel kantor desa jika tuntutan tak diindahkan, dan ancaman itu terbukti bukan gertakan semata.

Koordinator aksi, Maulana, menjelaskan bahwa dugaan penyelewengan menyasar sejumlah pos anggaran, mulai dari Dana Desa, BLT, ketahanan pangan, hingga proyek infrastruktur jalan lingkungan. Total kerugian disebut mencapai Rp 800 juta pada tahun anggaran 2024.
“Tidak pernah ada transparansi. Kades menggunakan anggaran secara sepihak, bahkan belanja dilakukan langsung tanpa melalui musyawarah atau verifikasi dari BPD,” tegas Maulana.
Menurutnya, masyarakat selama ini hanya bisa mendengar kabar soal bantuan dan proyek desa, tapi tak pernah melihat realisasi yang sesuai. “Sisa anggaran 30 persen dikabarkan diambil langsung tanpa laporan jelas. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi moral dan hukum,” tambahnya.
Di tengah derasnya tuntutan, Jaelani selaku kepala desa tetap bergeming. Dalam audiensi yang digelar setelah intervensi TNI dan Polri, ia menegaskan tak akan mundur sebelum ada putusan pengadilan yang sah.
“Saya tidak bisa asal mundur. Saya sudah beberapa kali diperiksa. Saya menunggu hasil dari pihak hukum,” ujarnya di hadapan perwakilan warga.
Pernyataan itu justru menyulut amarah warga. Mereka menilai sikap kepala desa sebagai bentuk pembangkangan terhadap aspirasi masyarakat. Tak puas dengan jawaban tersebut, warga secara simbolis menyegel kantor desa dengan palang kayu.
Aksi di Wangunjaya mencerminkan potret buram tata kelola desa. Di tengah arus dana besar yang digelontorkan pemerintah pusat ke desa, pengawasan justru tampak lemah. Perangkat desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang semestinya menjadi mitra kontrol, justru tak terlihat menonjol dalam upaya meredam krisis kepercayaan warga.
Warga akhirnya membubarkan diri setelah kesepakatan bahwa persoalan ini akan terus dikawal hingga ada tindakan hukum yang adil. Namun, kasus ini menyisakan catatan penting: transparansi dan partisipasi publik di tingkat desa bukan sekadar jargon, melainkan benteng terakhir melawan penyalahgunaan kekuasaan di akar rumput. (dil)
Comment