Dari ART di Jakarta ke Dapur MBG, Kisah Nuryanti yang Kini Tak Perlu Jauh dari Anak

Para relawan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah menyiapkan ribuan porsi makanan untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah. Dengan mengenakan pakaian higienis dan perlengkapan lengkap, mereka memastikan setiap sajian aman dan bergizi bagi para siswa penerima manfaat.

Oleh Fadilah Munajat

Wartacianjurnews.com – Di sebuah dapur SPPG di Desa Parakantugu, Kecamatan Cijati, aroma nasi hangat dan sayur tumis menebar. Asap tipis mengepul dari wajan besar, bercampur tawa para relawan yang sibuk menyiapkan ribuan porsi makanan. Di antara mereka, Nuryanti (28) tampak cekatan menuangkan lauk ke dalam kotak makan. Tangannya terampil, wajahnya berseri.

Tiga tahun lalu, kehidupan Nuryanti jauh berbeda. Ia seorang asisten rumah tangga di Jakarta, meninggalkan anak laki-lakinya yang masih berusia lima tahun di kampung.

“Waktu itu berat banget. Tapi kalau nggak kerja, saya dan anak bisa nggak makan,” kenangnya, sambil tersenyum tipis.

Sebagai janda muda, Nuryanti harus memikul beban ekonomi sendirian. Setiap kali menerima gaji bulanan dari majikan, sebagian besar langsung dikirim pulang. Ia jarang bisa pulang karena biaya perjalanan yang mahal dan waktu kerja yang panjang.

“Kadang cuma bisa dengar suara anak lewat telepon,” katanya pelan.

Para relawan dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) tengah menyiapkan ribuan porsi makanan untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah. Dengan mengenakan pakaian higienis dan perlengkapan lengkap, mereka memastikan setiap sajian aman dan bergizi bagi para siswa penerima manfaat.

Kini, hidupnya berubah sejak adanya dapur Sentra SPPG di desanya, bagian dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Dapur SPPG Parakantugu baru beroperasi seminggu lalu, melibatkan 49 relawan warga sekitar dan menyiapkan 2.600 porsi makanan bergizi setiap hari untuk 12 sekolah di wilayah Cijati.

“Begitu dengar ada perekrutan relawan, saya langsung daftar,” ujar Nuryanti. “Alhamdulillah diterima. Sekarang bisa kerja dekat rumah, tetap dapat penghasilan, dan yang paling penting bisa jagain anak.”

Setiap pagi, selepas menyiapkan sarapan untuk anaknya, ia berjalan ke dapur SPPG bersama beberapa tetangga. Di sana, para ibu bekerja bersama, ada yang memotong sayur, menanak nasi, hingga mengemas makanan untuk anak-anak sekolah.

“Rasanya bahagia banget lihat makanan yang kita masak dibawa ke sekolah-sekolah. Anak-anak makan dengan lahap. Kayak lihat anak sendiri senang,” katanya sambil tersenyum.

Bagi Nuryanti, dapur SPPG bukan sekadar tempat kerja, tapi simbol harapan baru. Ia tak lagi harus meninggalkan kampung demi mencari nafkah di kota besar.

“Sekarang saya bisa hidup tenang. Bisa kerja, bisa dekat sama anak. Dapur MBG ini benar-benar nolong ibu-ibu kayak saya,” ucapnya.

Di tengah hiruk-pikuk kegiatan dapur, Nuryanti kembali menunduk, menyendok lauk dengan cekatan. Suara panci dan tawa para relawan berpadu seperti irama kehidupan baru, kehidupan yang lebih hangat, lebih dekat, dan lebih manusiawi. (**)

Comment