Akademisi UNPI: Gerakan Rereongan Seribu per Hari Bisa Jadi Pungutan Sosial Baru

Wartacianjurnews.com – Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang mengimbau masyarakat, ASN, dan pelajar menyisihkan Rp1.000 per hari, menuai beragam tanggapan.

Meski diklaim sebagai gerakan solidaritas sosial berbasis kearifan lokal, sejumlah kalangan menilai kebijakan tersebut menyimpan potensi masalah etis dan tata kelola yang serius.

Dosen Universitas Putra Indonesia (UNPI) Cianjur, Doddie Faraitody, menilai bahwa meskipun ide rereongan berangkat dari nilai luhur budaya Sunda, negara seharusnya tidak mengalihkan tanggung jawab konstitusionalnya kepada rakyat.

Teks: Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) bertanggal 1 Oktober 2025, berisi ajakan gotong royong donasi seribu rupiah per hari.
Foto: Tangkapan layar Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang diterbitkan pada 1 Oktober 2025 di Bandung.

“Rereongan itu gotong royong khas masyarakat Sunda, dan itu baik. Tapi ketika pemerintah mendorong masyarakat untuk ikut menanggung beban pendidikan dan kesehatan, maka ada pergeseran tanggung jawab negara. Itu berbahaya dalam konteks etika pemerintahan,”ujar Doddie saat diwawancarai Wartacianjurnews.com, Minggu (5/10/2025).

Menurut Doddie, ajakan menyumbang Rp1.000 per hari memang tampak ringan, namun dalam struktur birokrasi yang kaku dan hierarkis, kebijakan seperti ini bisa menimbulkan tekanan moral terselubung.

“ASN dan pelajar bisa saja merasa ‘harus’ ikut agar tidak dianggap menolak kebijakan gubernur. Padahal nilai rereongan sejati itu sukarela, bukan kewajiban,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyoroti aspek transparansi dan akuntabilitas dana publik yang rawan menimbulkan kecurigaan.

“Sekecil apapun dana publik, harus ada mekanisme pelaporan yang terbuka. Kalau tidak jelas, publik akan bertanya: ke mana uang itu mengalir?” tandasnya.

Doddie juga menegaskan bahwa peran akademisi dan masyarakat sipil sangat penting untuk mengawal agar gerakan rereongan tidak berubah menjadi “pungutan sosial baru” yang justru menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Inti rereongan bukan soal uang seribu rupiah, tapi membangun kepercayaan sosial. Kalau kebijakan dijalankan tanpa transparansi, tanpa sukarela, dan tanpa keadilan, maka yang tumbuh bukan solidaritas, tapi ketidakpercayaan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menerbitkan surat edaran yang mengatur tata kelola Gerakan Rereongan Poe Ibu. Dana hasil rereongan diklaim akan digunakan untuk membantu kebutuhan darurat masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, melalui rekening khusus yang dikelola masing-masing instansi dan sekolah.

Namun, sejumlah pihak kini menilai langkah itu harus diawasi ketat agar tidak berubah menjadi beban sosial baru yang justru menimbulkan keresahan di masyarakat. (Ben)

Comment