“Pajak dan Rezeki: Di Antara Amanat Negara dan Nafas Rakyat”

Di tengah geliat pembangunan dan janji pemulihan ekonomi, publik kembali dihadapkan pada kenyataan pahit: pajak naik, beban hidup pun ikut menanjak. Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut bahwa “pajak adalah bagian dari rezeki, seperti zakat” menjadi sorotan tajam. Bagi sebagian masyarakat, ungkapan itu terdengar filosofis. Namun bagi yang hidup pas-pasan, itu terasa seperti candaan yang tak lucu. “Zakat itu ikhlas, pajak itu wajib,” tulis seorang netizen dalam unggahan yang viral di media sosial.

Data dari Center for Strategic and International Studies menunjukkan bahwa dari 145 juta penduduk usia kerja di Indonesia, hanya sekitar 17 juta yang membayar pajak secara aktif. Artinya, basis pajak kita masih sempit, namun intensifikasi terus digencarkan. Kenaikan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025, serta target penerimaan pajak Rp2.692 triliun di tahun 2026, menjadi bukti bahwa negara sedang serius menggenjot pendapatan fiskal. “Kita harus memperluas basis pajak, bukan hanya menaikkan tarif,” ujar Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari Center of Reform on Economics.

Di Cianjur, suara rakyat terdengar lirih namun jelas. Pedagang kecil, buruh harian, dan guru honorer mulai merasa bahwa pajak bukan lagi sekadar kewajiban, tapi beban yang menggerus harapan. “Kalau makan, nikah, hidup saja dipajaki, apa yang tersisa dari rezeki kami?” keluh seorang warga di Pasar Induk Cianjur. Gambar satir yang beredar—truk kecil yang memikul karung-karung pajak bertuliskan ‘Pajak Hidup’, ‘Pajak Nikah’, hingga ‘Pajak PSK’—menjadi simbol keresahan kolektif.

Namun di balik kritik, ada ruang untuk refleksi. Pajak adalah tulang punggung negara, sumber dana pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Tapi cara menyampaikannya harus bijak, empatik, dan adil. “Pajak bukan hanya soal angka, tapi soal kepercayaan,” kata Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies, Ketika rakyat merasa didengar, mereka akan lebih rela memberi.

Awak Redaksi  Warta Cianjur mengajak pembaca untuk merenung : apakah pajak sudah menjadi bagian dari rezeki, atau justru mengurangi rezeki itu sendiri? Di antara zakat yang menenangkan dan pajak yang menekan, semoga ada jalan tengah yang memuliakan rakyat tanpa mengabaikan amanat negara. (*Red)

Comment