Wartacianjurnews.com – Setiap pagi, Pak Paman (35), warga Desa Pangadegan, Kecamatan Pagelaran, harus memacu sepeda motornya dengan hati-hati menyusuri jalan kabupaten jalur Cibitung–Cipari. Bukan karena lalu lintas yang padat, tapi karena jalan yang rusak parah. Lubang besar, permukaan aspal yang terkelupas, dan genangan air saat hujan membuat perjalanan seakan menjadi tantangan harian.
“Sudah bosan lihat jalan begini terus. Kami hanya bisa berharap, tapi tak kunjung ada perbaikan,” keluh Pak Paman, Senin (29/7/2025). Baginya, jalan rusak bukan sekadar persoalan infrastruktur. Ini soal waktu, keselamatan, dan roda ekonomi yang melambat.
Bagi sebagian warga, jalan kabupaten sepanjang 4 kilometer ini adalah nadi utama penghubung antardesa dan jalur penting mobilitas harian. Para petani mengangkut hasil bumi, anak-anak berangkat ke sekolah, ibu-ibu ke pasar, semua menggantungkan harapan pada jalur yang kini menyimpan banyak luka.

Pak Kukun (60), warga lainnya, menceritakan pengalaman yang nyaris merenggut nyawa. “Waktu itu ada mobil hampir terbalik karena rodanya masuk lubang. Ngeri kalau malam, apalagi pas hujan turun,” kenangnya dengan nada prihatin.
Ia pun menegaskan bahwa warga tak lagi menuntut kemewahan, hanya kepastian, kapan janji perbaikan jalan dari pemerintah daerah benar-benar diwujudkan.
Di musim hujan, jalan itu berubah menjadi kubangan lumpur panjang. Di musim kemarau, debu berterbangan, menutup pandangan dan mengotori rumah-rumah di pinggir jalan. Anak-anak kecil harus menutup wajah mereka dengan tangan kecilnya setiap kali kendaraan melintas.
Kepala Desa Pangadegan, Deden Suhardin, menyadari betul dampak kerusakan jalan itu terhadap warganya. Ia mengatakan sudah berulang kali mengajukan usulan perbaikan, namun hingga kini belum ada tindak lanjut dari pemerintah kabupaten. “Kami ingin jalan kabupaten ini menjadi prioritas. Warga butuh kepastian, bukan janji yang terus diulang,” ucapnya.
Masyarakat Desa Pangadegan tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin bisa bepergian dengan aman, membawa hasil panen dengan lancar, dan menikmati fasilitas dasar sebagaimana mestinya. Jalan yang layak adalah hak mereka, bukan sekadar harapan.
Dan di balik setiap lubang di jalan itu, ada kisah warga yang terus menanti. Dengan sabar, dengan resah. Karena bagi mereka, jalan yang rusak bukan sekadar kerusakan fisik, tapi juga simbol dari janji-janji yang belum ditepati.
(Fadilah Munajat)
Comment