Terlupakan di Tengah Janji Kesejahteraan Potret Abu Samsah di Ujung Selatan Cianjur

Keterangan Foto: Abu Samsah (80), seorang janda lansia di Kampung Tegallega, duduk lemah di dalam gubuk bambu bersama dua anaknya. Sudah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan, tanpa tersentuh bantuan pemerintah. Di usia senjanya, harapannya tinggal satu: ada yang peduli dan datang membawa perubahan.

Wartacianjurnews.com – Di sebuah sudut sunyi Kampung Tegallega, Desa Talagasari, Kecamatan Sindangbarang, Cianjur, berdirilah sebuah gubuk reyot yang nyaris roboh. Di dalamnya tinggal Abu Samsah (80), seorang janda lansia yang telah lama hidup dalam kesendirian dan keterbatasan, jauh dari jangkauan program bantuan yang seharusnya melindungi mereka yang paling rentan.

Keterangan Foto: Abu Samsah (80), seorang janda lansia di Kampung Tegallega, duduk lemah di dalam gubuk bambu bersama dua anaknya. Sudah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan, tanpa tersentuh bantuan pemerintah. Di usia senjanya, harapannya tinggal satu: ada yang peduli dan datang membawa perubahan.

Setiap pagi, tubuh renta Abu Samsah masih berusaha berdiri. Bukan untuk menyambut harapan, tapi sekadar bertahan dari hari ke hari. Atap rumahnya berlubang, dindingnya lapuk, dan malam-malam dilalui dalam was-was menghadapi hembusan angin yang terasa seperti ancaman. Tidak ada pekerjaan, tidak ada penghasilan, hanya kebaikan hati tetangga dan sesekali uluran dari para relawan yang membuatnya bisa terus bertahan.

“Saya bingung harus ke mana. Ibu saya sudah hampir empat tahun tidak pernah dapat bantuan. Dari desa pun tidak pernah ada yang datang,” ujar Herman (43), anak kandung Abu Samsah, dengan suara lemah pada Minggu (20/7/2025).

Herman tak habis pikir, bagaimana mungkin ibunya yang hidup sebatang kara bisa luput dari perhatian, sementara ia tahu ada warga lain dengan kondisi ekonomi lebih baik yang justru rutin menerima bantuan. Ketimpangan itu menggores hatinya. “Kami rakyat kecil tidak banyak menuntut, tapi setidaknya negara hadir dan adil,” tambahnya.

Ketua RW setempat, Supar, pun mengaku heran. Ia menyebut nama Abu Samsah pernah tercatat sebagai penerima bantuan. Namun bantuan itu entah menguap di mana. “Katanya sudah terdata, tapi kok tidak pernah sampai? Saya juga bingung,” ujarnya melalui sambungan telepon.

Potret getir Abu Samsah bukan kisah tunggal. Di Desa Sirnagalih, Kecamatan Sindangbarang, keluarga Supiandi mengalami hal serupa. Istrinya, Suhena, menceritakan bahwa mereka sudah tak lagi menerima bantuan seperti PKH atau BPNT selama hampir empat tahun terakhir.

“Padahal hidup kami juga berat. Kami masih butuh, tapi seolah dilupakan,” ungkap Suhena lirih.

Kisah-kisah ini menggambarkan celah besar dalam sistem pendataan dan distribusi bantuan sosial. Bahwa masih banyak warga miskin di pelosok desa yang tak pernah merasakan manfaat program-program pemerintah, meski namanya tercantum atau bahkan sudah pernah menerima bantuan di masa lalu.

Ketika janji pemerataan dan keadilan sosial terus digaungkan, realita di lapangan menunjukkan betapa masih jauhnya pencapaian itu bagi sebagian warga. Bukan karena mereka menolak maju, tapi karena langkah mereka terus tertahan oleh sistem yang tak berpihak.

Cerita Abu Samsah dan Supiandi adalah pengingat bahwa pembangunan tak bisa hanya dilihat dari seberapa megah proyek yang dibangun, atau seberapa meriah acara yang digelar. Tapi dari seberapa banyak warga kecil yang akhirnya bisa hidup lebih layak dan merasa diakui sebagai bagian dari bangsa ini.

Mereka tidak minta diperlakukan istimewa. Hanya ingin dilihat, didengar, dan dibantu untuk hidup dengan lebih manusiawi. Bukan nanti, tapi sekarang. (Fadilah Munajat)

banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600 banner 1131x1600

Comment

banner 1131x1600